Assalamu’alaikum
warahmatullahi Wabarakatuh..
Puji dan Syukur kita panjatkan
kepada Allah swt berkat limpahan rahmat dan karunianya yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan sehingga saya dapat menyelesaikan review mengenai
jurnal ini
Fasies gunung api dan aplikasinya
SUTIKNO BRONTO
Pusat Survei Geologi, Jln.
Diponegoro 57 Bandung, Indonesia
Sebelum meriview jurnal
ini,saya ingin membahas sedikit mengenai latar belakang pembuat jurnal ini,yaitu
Bapak Sutikno Bronto.
Sutikno Bronto Dilahirkan di Desa
Tunjungan, Ngombol, Jawa Tengah, pada 24 Januari 1953, sebagai anak ketiga dari
lima bersaudara dari pasangan Brontosudiro dan Wagisah, Sutikno sangat
dipengaruhi oleh mata pencaharian di daerah tempat asalnya, yaitu pertanian,
dan pendidikan yang ditempuhnya tatkala harus memutuskan untuk masuk ke jenjang
pendidikan tinggi.
Ayah Sutikno dikenal sebagai petani dan Sekretaris Desa atau masyarakat akrab menyebutnya dengan Pak Carik.. Pada tahun 1965, ia lulus dari Sekolah Dasar Negeri Bukur, Kecamatan Ngombol, Purworejo. Pendidikan menengahnya dilanjutkan di Kota Gudeg, Yogyakarta. Ia lulusan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Yogyakarta (1968) dan Sekolah Menengah Atas Negeri I Teladan Yogyakarta (1971).
Ayah Sutikno dikenal sebagai petani dan Sekretaris Desa atau masyarakat akrab menyebutnya dengan Pak Carik.. Pada tahun 1965, ia lulus dari Sekolah Dasar Negeri Bukur, Kecamatan Ngombol, Purworejo. Pendidikan menengahnya dilanjutkan di Kota Gudeg, Yogyakarta. Ia lulusan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Yogyakarta (1968) dan Sekolah Menengah Atas Negeri I Teladan Yogyakarta (1971).
Setelah SMA, Sutikno melanjutkan studinya ke jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Selama masa kuliahnya, Sutikno sering
mengikuti kuliah lapangan. Menurutnya, “Kuliah lapangan itu terasa buat saya, kalau
kita berbicara atau meneliti batuan sedimen itu kan daerahnya datar dan
kesannya panas sekali, sehingga ketika bekerja saya ingin ke tempat yang agak
sejuk. Nah, yang sejuk kan di daerah gunung api”. Itulah yang menjadi alasan
bagi Sutikno untuk melamar kerja ke Direktorat Vulkanologi di Bandung pada
1980.
Sejak 1980, Sutikno tercatat sebagai Staf ahli pada Seksi Pemetaan Geologi, Sub Direktorat Pemetaan Gunung api, Direktorat Vulkanologi. Sebagai pemeta geologi, mula-mula ia mengikuti pemetaan Gunung Gamalama, Gunung Lamongan, dan Gunung Anak Krakatau. Hasil pemetaan tersebut sudah diterbitkan, yaitu Peta Geologi Gunungapi Gamalama, Ternate, Maluku Utara (Geologic map of Gamalama Volcano, Ternate, North Maluku, 1982), Peta geologi Gunungapi Lamongan, Lumajang, Jawa Timur (Geologic map of Lamongan Volcano, Lumajang, East Java, 1986), dan Peta Geologi Kompleks Gunungapi Krakatau, Selat Sunda, Propinsi Lampung (Geologic map of Krakatau Volcano Complex, Sunda Strait, Lampung Province, 1986). Selama melakukan pemetaan gunung api pada 1980-1981 itu, ia merasa tertantang. Katanya, “Karena sudah berniat bekerja di Vulkanologi dan tempatnya di gunung-gunung, ya rasanya senang dan tertantang karena sesuai dengan keinginan dan ternyata di atas gunung kan hawanya sejuk dan pemandangan ke bawahnya bagus. Kemudian tantangan lain, masalah geologinya ternyata lebih menarik. Apalagi kan masih muda, tenaganya masih fresh.”
Sejak 1980, Sutikno tercatat sebagai Staf ahli pada Seksi Pemetaan Geologi, Sub Direktorat Pemetaan Gunung api, Direktorat Vulkanologi. Sebagai pemeta geologi, mula-mula ia mengikuti pemetaan Gunung Gamalama, Gunung Lamongan, dan Gunung Anak Krakatau. Hasil pemetaan tersebut sudah diterbitkan, yaitu Peta Geologi Gunungapi Gamalama, Ternate, Maluku Utara (Geologic map of Gamalama Volcano, Ternate, North Maluku, 1982), Peta geologi Gunungapi Lamongan, Lumajang, Jawa Timur (Geologic map of Lamongan Volcano, Lumajang, East Java, 1986), dan Peta Geologi Kompleks Gunungapi Krakatau, Selat Sunda, Propinsi Lampung (Geologic map of Krakatau Volcano Complex, Sunda Strait, Lampung Province, 1986). Selama melakukan pemetaan gunung api pada 1980-1981 itu, ia merasa tertantang. Katanya, “Karena sudah berniat bekerja di Vulkanologi dan tempatnya di gunung-gunung, ya rasanya senang dan tertantang karena sesuai dengan keinginan dan ternyata di atas gunung kan hawanya sejuk dan pemandangan ke bawahnya bagus. Kemudian tantangan lain, masalah geologinya ternyata lebih menarik. Apalagi kan masih muda, tenaganya masih fresh.”
Selama 1980-1984, Sutikno
bekerja di pemetaan gunung api, termasuk diperbantukan pada tim pemetaan
endapan dan lahar saat Gunung Galunggung meletus tahun 1982. Memasuki 1985, ia
mempunyai kesempatan untuk mendalami kegunungapian di Selandia Baru. Setelah
mengikuti kursus bahasa Inggris di The British Council, English Language
Centre, Jakarta (1984) dan English Language Institute, Victoria University of
Wellington, New Zealand (1985), Sutikno mulai kuliah di The University of
Canterbury, Christchurch, New Zealand.
Sepulang dari Negeri Kiwi,
antara 1992-1999, Sutikno menjabat Kepala Kantor Seksi Gunung Merapi di
Yogyakarta. Begitu dia diangkat menjadi kepala kantor itu, awal tahun 1992,
Gunung Merapi Meletus. Selain itu, hingga kini,
ia aktif menulis dan menjadi mitra bestari bagi jurnal-jurnal ilmiah terkait
ilmu kebumian. Sutikno pernah terlibat sebagai anggota redaksi dan mitra
bestari bagi, antara lain, Jurnal Teknologi Nasional (1996-2002), Majalah
Geologi Indonesia (2001-2005), Jurnal Sumber Daya Geologi (2001-2005), dan
Jurnal Geologi Indonesia (2006-2008). Sejak 2009, ia menjadi anggota redaksi
Buletin Eksplorium. Pada pertemuan ilmiah geologi dan vulkanologi juga berperan
serta secara aktif, baik di dalam dan luar negeri, antara lain di Jepang,
Amerika Serikat, dan Meksiko.
Demikianlah bebearapa penjelasan singkat
mengenai Bapak Sutikno Bronto, sangat menginspirasi ya Geologist.
Definisi Gunung Api
Schieferdecker (1959) mendefinisikan
gunung api (volcano) adalah” (sebuah tempat di permukaan bumi di-mana
bahan magma dari dalam bumi keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya
membentuk suatu gunung, kurang lebih berbentuk kerucut yang mempunyai kawah di
bagian puncaknya).
Sementara itu Macdonald (1972)
menyatakan bahwa “Gunung api adalah tempat atau bu-kaan dimana batuan kental
pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan
tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau
gunung). Dari dua definisi tersebut maka untuk dikatakan sebagai gunung api
harus ada magma yang berupa batuan pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan
bumi melalui bukaan (kawah). Hasil kegiatan berupa ba-han padat yang
teronggokkan di sekeliling lubang biasanya membentuk bukit atau gunung dan
disebut sebagai batuan gunung api.
Definisi Fasies
Menurut Schieferdecker (1959)
fasies ialah “the sum of the lithological
and paleontological char-acters exhibit by a deposit at a particular point” (sejumlah ciri litologi dan
paleontologi yang ditun-jukkan oleh suatu endapan pada suatu lokasi ter-tentu).
Sementara itu litofasies
diartikan sebagai “the collective physical and organic characters
found in any sedimentary rock which indicate environment of deposition” (sekumpulan
ciri fisik dan organik yang dijumpai di dalam batuan sedimen yang
mengindika-sikan lingkungan pengendapannya.
Schieferdecker, 1959). Di dalam
Sandi Stratigrafi Indonesia (Marto-djojo dan Djuhaeni, 1996) fasies adalah
aspek fisika, kimia, atau biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu.
Pembagian Fasies Gunung Api
Pembagian fasies gunung api
tersebut dikem-bangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan Mackenzie
(1998) menjadi empat kelompok yaitu:
1.Central/Vent Facies (daerah puncak kerucut gunung
api)
Fasies sentral gunung api dicirikan oleh asosiasi
batuan beku intrusi dangkal, kubah lava, dan batuan ubahan hidrotermal
2.Proximal Facies, (daerah lereng
gunung api)
Fasies proksimal tersusun oleh
perselingan aliran lava dan breksi piroklastika
3.Medial Facies (lereng bawah)
Fasies medial terutama berupa breksi piroklastika,
breksi lahar, dan konglomerat.
4. Distal Facies
Fasies distal lebih banyak disusun oleh batuan
epiklastika berukuran butir pasir-lempung.
Sesuai dengan batasan fasies
gunung api, yakni sejumlah ciri litologi (fisika dan kimia) batuan gunung api
pada suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies gunung api tersebut dapat
diidentifikasi berdasarkan data:
1.
Inderaja dan Geomorfologi
Pada
umur Kuarter hingga masa kini, bentang alam gunung api komposit sangat mudah diidentifi-kasi karena bentuknya berupa
kerucut, di puncaknya terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan dengan
bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya.
Dari puncak ke arah kaki, sudut
lereng semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran di sekitar kerucut
gunung api tersebut. Untuk pulau gunung api, bagian puncak dan lereng menyembul
di atas muka air laut sedangkan kaki dan dataran berada di bawah muka laut. Namun berdasarkan penelitian topografi
bawah laut, tidak hanya kaki dan dataran di sekeliling pulau gunung api, tetapi
juga kerucut gunung api bawah laut dapat diidentifikasi. Aliran sungai pada kerucut
gunung api di darat dan pulau gunung api mempunyai pola memancar dari daerah puncak ke
kaki dan dataran di sekitarnya.
Apabila suatu kerucut gunung api di
darat atau di atas muka air laut sudah tidak aktif lagi, maka proses
geomorfologi yang dominan adalah pelapukan dan erosi, terutama di daerah puncak
yang merupakan daerah timbulan tertinggi. Karena pengaruh litologi yang beragam
di daerah puncak, ada yang keras dan ada yang lunak, relief daerah puncak
menjadi sangat kasar, tersusun oleh bukit-bukit runcing di antara lembah-lembah
sungai yang terjal dan dalam.Kemiringan lereng bukit yang menghadap ke daerah
bekas puncak pada umumnya lebih terjal daripada kemiringan lereng yang menjauhi
daerah puncak
2. Stratigrafi batuan gunung api
Fasies
sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh
sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava
dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan
pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api
purba yang sudah tererosi lanjut. Fasies proksimal merupakan kawasan gunung api
yang paling dekat dengan lokasi sumber atau fasies pusat. batuan pada kerucut
gunung api komposit sangat didominasi oleh perselingan aliran lava dengan
breksi piroklastika dan aglomerat.
Fasies
medial, karena sudah lebih menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat
sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi
lahar juga sudah mulai berkembang.
Fasies
distal, sebagai daerah pengendapan terjauh dari sumber didominasi oleh endapan
rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat,
batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di fasies ini umumnya
berupa tuf.
3.
vulkanologi fisik,
Secara sedimentologi atau vulkanologi fisik,
mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal dapat dirunut perubahan secara
bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimen. Tekstur batuan klastika gunung
api menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan kemas. efek dari fasies
proksimal ke fasies distal bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing - meruncing
sampai membundar - sangat membundar.Di daerah fasies proksimal pada umumnya
membentuk kemas tertu-tup, tetapi kemudian berubah menjadi kemas terbuka di
fasies medial sampai distal. , struktur aliran piroklastika, aliran lahar serta
aliran lava dapat juga mendukung penentuan arah sumber erupsi. . Struktur bomb sag sebagai akibat lontaran
balistik bom gunung api dan jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah
pada waktu terjadi letusan dapat juga membantu menentukan arah sumber letusan
4.
Struktur geologi
Pada
fasies pusat dan fasies proksimal struktur geologi yang berkembang adalah sesar
normal berpola radier, di fasies medial terbentuk sesar miring sampai sesar geser
yang juga berpola radier. Sementara itu di fasies distal dapat terjadi sesar
naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris. Pola struktur geologi
yang diperkirakan sebagai akibat proses magmatisme dan volkanisme dapat
dicontohkan ter-jadi di daerah Gunung Ijo, Pegunungan Kulonprogo
5.
Petrologi-geokimia.
Maka secara petrologi-geokimia
batuan sedimen gunung api dapat berbeda dengan batuan beku yang menerobosnya.
Selain itu, batuan sedimen gunung api berumur lebih tua daripada batuan bekuterobosan.
Mengacu pada pandangan geologi gunung api, batuan ekstrusi dan batuan intrusi merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada lokasi dan umur relatif sama. Oleh sebab itu secara petrologi-geokimia batuan ekstrusi dan intrusi dapat dipandang bersumber dari magma yang sama dan mempunyai afinitas yang sama pula (co-magmatic atau coherent).Keragaman komposisi sebagai akibat proses diferensiasi, misalnya terbentuk basal, andesit basal, andesit, dan dasit, dapat saja terjadi, tetapi semuanya berasal dari magma induk yang sama (Bronto, 2002). Apabila di dalam dapur magma gunung api terjadi percampuran dua magma yang berbeda sumber, maka hal inipun masih dapat teridentifikasi baik di dalam batuan intrusi maupun batuan ekstrusi.
Mengacu pada pandangan geologi gunung api, batuan ekstrusi dan batuan intrusi merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada lokasi dan umur relatif sama. Oleh sebab itu secara petrologi-geokimia batuan ekstrusi dan intrusi dapat dipandang bersumber dari magma yang sama dan mempunyai afinitas yang sama pula (co-magmatic atau coherent).Keragaman komposisi sebagai akibat proses diferensiasi, misalnya terbentuk basal, andesit basal, andesit, dan dasit, dapat saja terjadi, tetapi semuanya berasal dari magma induk yang sama (Bronto, 2002). Apabila di dalam dapur magma gunung api terjadi percampuran dua magma yang berbeda sumber, maka hal inipun masih dapat teridentifikasi baik di dalam batuan intrusi maupun batuan ekstrusi.
Aplikasi Dalam Bidang Mineral,Lingkungan Dan
Kebencanaan
Pembagian
fasies gunung api ini dapat dimanfaatkan dalam rangka pencarian sumber baru di
bidang mineral, berdasarkan konsep pusat erupsi
gunung api sebagai strategi untuk penelitian emas dan energi, penataan lingkungan,
serta mitigasi bencana geologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar